Cinta Tak Harus Memiliki
Cinta tak harus memiliki. ungkapan yang sangat populer dan kadang teramat klise untuk didengar. tapi, itulah kenyataan. banyak yang merasakannya, meskipun kadang sulit, pahit dan perih untuk menerimanya. seperti kisah Umar bin Abdul Aziz ini.
Perempuan oh perempuan! Pengalaman batin para pahlawan dengan mereka
ternyata jauh lebih rumit dari yang kita bayangkan. Apa yang terjadi,
misalnya, jika kenangan cinta hadir kembali di jalan pertaubatan
seorang pahlawan? Keagungan!
Itulah, misalnya, pengalaman batin Umar bin Abdul Aziz. Sebenarnya
Umar seorang ulama, bahkan seorang mujtahid. Tapi ia besar di lingkungan istana Bani Umayyah, hidup dengan gaya hidup mereka, bukan
gaya hidup seorang ulama. Ia bahkan menjadi trendsetter di lingkungan
keluarga kerajaan. Shalat jamaah kadang ditunda karena ia masih sedang menyisir rambutnya.
Tapi begitu ia menjadi khalifah, tiba-tiba kesadaran spiritualnya justru tumbuh mendadak pada detik inagurasinya. Ia pun bertaubat.
Sejak itu ia bertekad untuk berubah dan merubah dinasti Bani Umayyah.
"Aku takut pada neraka," katanya menjelaskan rahasia perubahan itu
kepada seorang ulama terbesar zamannya, pionir kodifikasi hadits, yang
duduk di sampingnya, Al-Zuhri.
Ia memulai perubahan besar itu dari dalam dirinya sendiri, isteri,
anak-anaknya, keluarga kerajaan, hingga seluruh rakyatnya. Kerja keras
tu membuahkan hasil; walaupun hanya memerintah dalam waktu 2 tahun 5
bulan, tapi ia berhasil menggelar keadilan, kemakmuran dan kejayaan
serta nuansa kehidupan zaman Khulafa' Rasyidin. Maka ia pun digelari
Khalifah Rasyidin Kelima.
Tapi itu ada harganya. Fisiknya segera anjlok. Saat itulah isterinya
datang membawa kejutan besar; menghadiahkan seorang gadis kepada
suaminya untuk dinikahinya (lagi). Ironis, karena Umar sudah lama
mencintai, menyayangi dan sangat menginginkan gadis itu, juga
sebaliknya. Dulu, isterinya, Fatimah, tidak pernah mengizinkannya; atas
nama cinta dan cemburu. Sekarang, justru sang isterilah yang
membawanya sebagai hadiah. Fatimah hanya ingin memberikan dukungan
moril kepada suaminya.
Itu saat terindah dalam hidup Umar, sekaligus saat paling mengharu
biru. Kenangan romantika sebelum saat perubahan bangkit kembali, dan
menyalakan api cinta yang dulu pernah membakar segenap jiwanya. Tapi
saat cinta ini hadir di jalan pertaubatannya, ketika cita-cita
perubahannya belum selesai. Cinta dan cita bertemu atau bertarung,
disini, di pelataran hati Sang Khalifah, Sang Pembaru.
Apa yang salah kalau Umar menikahi gadis itu? Tidak ada! Tapi, "Tidak!
Ini tidak boleh terjadi. Saya benar-benar tidak merubah diri saya
kalau saya masih harus kembali ke dunia perasaan semacam ini," kata
Umar. Cinta yang terbelah dan tersublimasi di antara kesadaran
psiko-spiritual, berujung dengan keagungan; Umar memenangkan cinta
yang lain, karena memang ada cinta di atas cinta! Akhirnya ia
menikahkan gadis itu dengan pemuda lain.
Tidak ada cinta yang mati disini. Karena sebelum meninggalkan rumah
Umar, gadis itu bertanya dengan sendu, "Umar, dulu kamu pernah sangat
mencintaiku. Tapi kemanakah cinta itu sekarang?" Umar bergetar haru,
tapi ia kemudian menjawab, "Cinta itu masih tetap ada, bahkan kini
rasanya jauh lebih dalam, tapi ada cinta di atas cinta ku padamu,
cinta yang tak tergantikan, dari seorang hamba kepada Rabb nya!"
ternyata jauh lebih rumit dari yang kita bayangkan. Apa yang terjadi,
misalnya, jika kenangan cinta hadir kembali di jalan pertaubatan
seorang pahlawan? Keagungan!
Itulah, misalnya, pengalaman batin Umar bin Abdul Aziz. Sebenarnya
Umar seorang ulama, bahkan seorang mujtahid. Tapi ia besar di lingkungan istana Bani Umayyah, hidup dengan gaya hidup mereka, bukan
gaya hidup seorang ulama. Ia bahkan menjadi trendsetter di lingkungan
keluarga kerajaan. Shalat jamaah kadang ditunda karena ia masih sedang menyisir rambutnya.
Tapi begitu ia menjadi khalifah, tiba-tiba kesadaran spiritualnya justru tumbuh mendadak pada detik inagurasinya. Ia pun bertaubat.
Sejak itu ia bertekad untuk berubah dan merubah dinasti Bani Umayyah.
"Aku takut pada neraka," katanya menjelaskan rahasia perubahan itu
kepada seorang ulama terbesar zamannya, pionir kodifikasi hadits, yang
duduk di sampingnya, Al-Zuhri.
Ia memulai perubahan besar itu dari dalam dirinya sendiri, isteri,
anak-anaknya, keluarga kerajaan, hingga seluruh rakyatnya. Kerja keras
tu membuahkan hasil; walaupun hanya memerintah dalam waktu 2 tahun 5
bulan, tapi ia berhasil menggelar keadilan, kemakmuran dan kejayaan
serta nuansa kehidupan zaman Khulafa' Rasyidin. Maka ia pun digelari
Khalifah Rasyidin Kelima.
Tapi itu ada harganya. Fisiknya segera anjlok. Saat itulah isterinya
datang membawa kejutan besar; menghadiahkan seorang gadis kepada
suaminya untuk dinikahinya (lagi). Ironis, karena Umar sudah lama
mencintai, menyayangi dan sangat menginginkan gadis itu, juga
sebaliknya. Dulu, isterinya, Fatimah, tidak pernah mengizinkannya; atas
nama cinta dan cemburu. Sekarang, justru sang isterilah yang
membawanya sebagai hadiah. Fatimah hanya ingin memberikan dukungan
moril kepada suaminya.
Itu saat terindah dalam hidup Umar, sekaligus saat paling mengharu
biru. Kenangan romantika sebelum saat perubahan bangkit kembali, dan
menyalakan api cinta yang dulu pernah membakar segenap jiwanya. Tapi
saat cinta ini hadir di jalan pertaubatannya, ketika cita-cita
perubahannya belum selesai. Cinta dan cita bertemu atau bertarung,
disini, di pelataran hati Sang Khalifah, Sang Pembaru.
Apa yang salah kalau Umar menikahi gadis itu? Tidak ada! Tapi, "Tidak!
Ini tidak boleh terjadi. Saya benar-benar tidak merubah diri saya
kalau saya masih harus kembali ke dunia perasaan semacam ini," kata
Umar. Cinta yang terbelah dan tersublimasi di antara kesadaran
psiko-spiritual, berujung dengan keagungan; Umar memenangkan cinta
yang lain, karena memang ada cinta di atas cinta! Akhirnya ia
menikahkan gadis itu dengan pemuda lain.
Tidak ada cinta yang mati disini. Karena sebelum meninggalkan rumah
Umar, gadis itu bertanya dengan sendu, "Umar, dulu kamu pernah sangat
mencintaiku. Tapi kemanakah cinta itu sekarang?" Umar bergetar haru,
tapi ia kemudian menjawab, "Cinta itu masih tetap ada, bahkan kini
rasanya jauh lebih dalam, tapi ada cinta di atas cinta ku padamu,
cinta yang tak tergantikan, dari seorang hamba kepada Rabb nya!"
1 komentar:
disadur dari M Anis Matta Lc.
Sumber : Tarbawi 55/4/Muharram 1424H.
Editing bye Kurniasari :
"Cinta itu masih tetap ada, bahkan kini rasanya jauh lebih dalam, tapi ada cinta di atas cinta ku padamu, cinta yang tak tergantikan, dari seorang hamba kepada Rabb nya!"
Posting Komentar