Rabu, 24 Oktober 2007

Guruku, Pemulung


(based on the true story)

Siang itu terik panas matahari menyengat tubuhnya yang kian melemah, bulir-bulir keringat berjatuhan membasahi kaus lusuh yang menempel di tubuhnya. Dengan serius ia menekur jalan sembari melihat-lihat ke sana kemari, barangkali ada sampah-sampah "berkualitas" yang bisa ia kumpulkan dan dijual. Selain menekuri jalan, ia juga "menyambangi" berbagai tong sampah beserta isinya yang bermacam-macam. Sesekali ia menemukan apa yang ia cari, berupa sampah-sampah yang terbuat dari plastik, kertas, kardus dan lainnya yang bernilai jual tinggi. Hari menjelang senja, matahari pun bergegas pulang ke peraduannya. Kini langkahnya telah sampai pada tumpukan sampah yang menggunung-gunung. Baunya memaksa orang yang setiap lewat untuk menutup hidungnya, agar tak tercium bau tidak sedap dari tumpukan sampah. Sesegera mungkin ia mengantri untuk menimbang hasil pencariannya setengah hari ini. Alhamdulillah, hari ini tidak terlalu buruk uang sebesar Rp. 30.000 bisa ia dapatkan. Tidak perlu mengkhawatirkan uang makan untuk 1 istri dan 3 anak.

Kemeja batik biru ia kenakan. Tas kulit hitam dan sebuah kantong plastik putih menemaninya berangkat kerja pagi itu. Karena tidak ada yang lain, sepatu hitam yang warnanya agak luntur pun terpaksa dipakainya lagi. Agak tergesa-gesa ia berjalan dan menaiki bis yang berjubel. Pasalnya pekerjaan kemarin cukup menguras tenaganya. Selain itu, malam hari ia harus memeriksa hasil ulangan murid-murid tercintanya. Sudah menjadi hal umum, matematika jarang dianggap sebagai mata pelajaran yang mudah dan mengasyikan. Terlebih lagi ketika mengajarkan murid yang berasal dari keluarga ekonomi kelas bawah. Nilai-nilainya pun ke bawah. Maaf, bukan mengeneralisasi, tapi kenyataan bahwa semangat belajar anak-anak kelas bawah memang di bawah rata-rata alias kurang semangat, kecuali mereka yang benar-benar punya cita-cita dan ambisi untuk mengubah hidup. Sesampainya di ruang guru, seteguk air ia minum. Setelah itu langsung ia memasuki sebuah ruang kelas XI SMA swasta dengan murid sekitar 40 orang. Murid-murid yang sebelumnya riuh ramai, seketika tenang dengan kehadirannya. Dengan penuh percaya diri, kejelasan dan sedikit-sedikit ditambah bumbu kelucuan ia sampaikan. Murid mendengarkan, mencoba memahami. Sesekali timbul kerutan tipis di dahi para murid yang menandakan ketidakmengertian. Pertanyaan pun dilontarkan kepada sang guru, kehadirannya selalu dinantikan. Karena cara mengajarnya yang mengasyikan, ia pun dicintai para murid. Cintanya pada murid dan pendidikan pun selalu memberinya semangat untuk hadir berbagi ilmu.

Tapi, pekerjaan sebagai pemulung pun tak dapat ditinggalkan. Karena gajinya hanya Rp. 400.000 per bulan.

25 Oktober 2007
09.45 WIB

Tidak ada komentar: